Hari ini matahari bersinar dengan teriknya. Sinar ultra
violet nya menyinari makhluk bumi tanpa kenal ampun. Aku yang baru saja
merebahkan diri di lantai mencari sejuk, gusar dibuatnya.
Kuputuskan untuk keluar rumah menuju lapangan rumput di
belakang rumah setelah sebelumnya membeli minuman segar di toko tidak jauh dari
tempat tinggalku.
Kulangkahkan kaki melewati jalan setapak dan mencari pohon
rindang yang biasa ku hampiri untuk kemudian duduk dibawahnya.
Hari ini berbeda, ada sesuatu dibawah pohon itu. Padahal biasanya
di siang hari seperti ini tidak pernah ada siapapun disana. Kuamati dengan seksama
dari kejauhan dan kemudian kuhampiri.
Aku menyapanya sopan.
Dia tidak menghiraukan.
Aku hanya tersenyum dan berusaha mengakrabkan diri
dengannya.
Masih berusaha mengajaknya berbicara, namun dia tetap
mengabaikanku, hanya sesekali menoleh dan kemudian memalingkan dirinya lagi
dariku. Memainkan rerumputan yang dipijaknya. Dan sesekali meneruskan makannya
yang sempat terhenti karena kuhampiri.
Seketika panas terik yang tadi kurasakan membakar tubuhku
sudah menghilang sekejap.
Aku duduk disebelahnya, sambil sesekali menceritakan sesuatu
tentang apapun yang kualami di hari itu. Dan tetap saja dia tidak merespon
kecuali sesekali menoleh dan memalingkan wajahnya kembali.
Kuhabiskan siang itu dengannya.
Tidak bosan sedikitpun meskipun ia tidak menghiraukan
kehadiranku.
Dia hanya berjalan kesana kemari, ke rerumputan yang ada
disana, kembali lagi ke bawah pohon rindang tadi, dan pergi lagi ke rerumputan
disisi yang lain dari lapangan rumput ini. Aku hanya memperhatikannya tanpa
beranjak dari tempat ku duduk.
Aku pun akhirnya pamit pulang karena sang matahari sudah terlihat
lebih jauh dari tempatnya semula.
Sambil memintanya untuk datang kesini lagi esok hari.
Ya, benar saja. Ketika aku kembali kesana, kulihat dirinya
berdiri tegak tidak jauh dari pohon tempat kami bertemu.
Aku tersenyum senang.
Aku kembali menyapanya.
Kali ini tanpa ragu – ragu aku menepuknya, kemudian
merangkulnya pelan. Dia terlihat tidak keberatan akan itu.
Setiap harinya kami jadi selalu menghabiskan hari bersama,
ditempat yang sama. Bermain – main, berlarian dan duduk dibawah pohon rindang
itu.
Kami semakin akrab dan aku mulai menyayanginya seperti
sahabatku sendiri.
Meskipun aku tidak pernah tahu akan apa yang dia coba
sampaikan padaku. Tapi lewat tatapan matanya aku seperti mengerti akan dirinya.
Kami berteman tanpa dia pernah bisa menyampaikan apapun
kepadaku, kecuali diriku yang selalu berceloteh tanpa dia yang memalingkan
wajahnya.
Aku bahagia akan kehadirannya, seperti memiliki teman yang
tidak akan pernah meninggalkan ku sampai kapanpun.
Ya, aku selalu mengharapkan itu.
Sampai akhirnya seperti biasa aku datang ke tempat biasa
kami menghabiskan waktu bersama. Dia tidak ada disana, aku tidak bisa
menemukannya dimanapun. Aku mencari dan tidak pernah menemukannya.
Keesokan harinya aku mencoba mencarinya kembali, kemudian
esok harinya, esok harinya, dan esok harinya lagi.
Dan kemudian akhirnya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi
padanya.
Aku hanya menangis, menangis dan menangis.
Mungkin itu adalah takdir yang dimilikinya.
Aku kecewa akan kepergiannya.
Seandainya dia terlahirkan sebagai manusia, dia tidak akan
merasakan hal seperti itu.
Bagaimanapun, hanya dia satu – satunya Domba yang pernah menjadi
temanku.
Incredible things never happened everyday. So cherish it.
And after all, best friend
comes in every form and shape, right?