Buried In Memory (Part 2)


Sekujur tubuhku terasa sakit sekali, kepala ku pusing tidak karuan, mungkin rasanya seperti habis ditendang kuda sirkus yang mengamuk. Kulit tangan ku terasa perih, seperti luka menganga yang diolesi sambal atau balsam, atau ditetesi perasan jeruk nipis. Mata ku terasa panas, nafas ku berat, perut ku bagai di hantam bison yang berlari 10 meter dengan kecepatan 100km/jam. Tidak masuk akal, namun semua rasa sakit ini benar-benar nyata. Apa yang kualami sebenarnya? Mengapa begitu mengerikan?

“Eeehh, bangun juga akhirnya. Kirain bakal tidur terus sampe tahun baru 2020.”

Mata ku menyipit, mempertegas penglihatanku. Berusaha untuk bangun sampai tiba-tiba seseorang menahanku.

“Jangan! Jangan bangun dulu, kamu belum sembuh Chest!"

“Ta..Talinda? eh, ada Paman Ted juga. Aduh, kenapa sih?”
Tanyaku sambil terus menekan kening ku.

“Udah, pokoknya jangan bangun dulu. Mama kamu lagi bikin Chicken Soup buat kamu. Jangan kemana-mana ya, aku ke dapur dulu!”
Ucap Talinda sambil lalu.

Aku masih tidak mengerti, sepertinya semalam aku menjumpai sesuatu yang mengerikan. Dan aku kehilangan kesadaran. Begitu bangun, aku sudah di sini. Dengan tubuh yang sedikit dibalut perban.

Painful isn’t it?”

Huh?”

Your scars, Chester.”

“Oh, i..iya Paman, sakit sekali. Seingatku aku engga pernah dapet luka separah ini, tapi kok udah kaya gini aja ya? Terutama ini nih, sakit banget.”

Jawabku sambil menunjukkan pergelangan tangan kiri ku yang di balut perban. Seingatku memang aku tidak pernah mendapat luka seperti ini semenjak tiba disini, namun kenapa bisa? Apa kah makhluk yang waktu itu menyerang ku? Namun dia tidak pernah membuatku mendapat luka seperti ini. Semua ini benar-benar membingungkan. Terutama saat munculnya sosok hitam misterius itu.

“Aku kenapa sih Paman?”

Paman Ted langsung melirik ke arahku dengan pandangan datarnya seperti biasa, namun penuh arti. Dia memicingkan mata, mempertegas penglihatannya dan terus memperhatikan diriku.

“Paman?”

“Kamu bener-bener ngga tau?”

“Kalo tau aku ngga mungkin nanya kan?”

Lagi-lagi Paman Ted hanya terdiam sambil menatap diriku. Benar-benar berkonsentrasi dan mengabaikan sekelilingnya. Ada yang aneh dengan dirinya, dia memegang sebuah buku misteri tebal yang dibatasi seperempat halamannya, dan dia pun menungguiku disini. Bisa terlihat dari cangkir kopi di meja lampu yang isinya tinggal sedikit. Paman tidak menyukai hal-hal yang berbau mistis, apalagi sampai tertarik membaca buku seperti ini. Dia tidak pernah menungguiku jika aku sedang sakit atau apalah. Seperti dulu ketika aku dan Brad memanjat salah satu pohon besar di hutan belakang, aku tergelincir dan kakiku tertusuk batang pohon kecil yang sangat tajam. Kemudian beberapa bulan setelahnya, aku terserempet mobil yang dikendarai Paman Ted. Namun tetap saja, dia tidak pernah menungguiku seperti yang dia lakukan sekarang. Entah karena rasa bersalah, atau memang dia tidak peduli waktu itu.

“Paman? Kenapa sih??”

“Nggak, ngga kenapa-kenapa.”

“Lah? Terus? Pertanyaanku ngga dijawab?”

“Eh iya. Apa sih pertanyaannya tadi?”

“Yeeeeeee.. Kenapa kok aku bisa begini???”

“Oh.. Kamu jatuh  dari pohon kayanya.”

“HAH? Masa?? Kayanya enggak deh.”

“Lah emang enggak, kan kamu diseruduk sama sapi ternak dibelakang.”

“Ih, Paman gimana sih, mana yang bener???”

“Paman juga nggak tau.” Jawabnya datar, lagi.

Tidak ada gunanya aku bertanya, sepertinya dia benar-benar tidak tahu. Tapi mengapa, hati ku merasakan sesuatu. Bagaimana aku bisa mendapat luka-luka ini? Bagaimana aku bisa bertemu dengan makhluk-makhluk aneh itu? Mengapa Paman Ted rasanya aneh sekali, bukan seperti dia yang biasa. Aku tidak mengerti.


--


Malam itu semua berjalan seperti biasa, setelah menyuapiku dengan sup buatannya, ibu duduk sebentar menemaniku kemudian pergi dan menemui Paman Ted diruang tamu. Mereka bercengkrama sampai larut, bisa kudengar dari suara tawa mereka yang terdengar pelan.
Dan tetap tidak ada yang menjelaskan kepadaku tentang kejadian malam tadi.

Talinda pun nampaknya benar-benar tidak tahu.

‘Brad nemuin kamu tergeletak di hutan belakang dan kaos sedikit robek, darah ngalir dari pergelangan tangan kiri kamu, keningmu lebam kaya dihantam benda yang keras, punggung mu biru-biru. Aku juga ngga ngerti kenapa bisa begitu. Justru aku mau tanya sama kamu. Tapi kamu malah nanya duluan.’

“Chester? Boleh masuk?”
Seseorang mengetuk pintu.

“Um, Brad? Masuk aja, ngga dikunci kok.”
Balas ku.

“Hey, sorry nih ganggu malem-malem.”

“Ngga apa-apa, belum tidur juga kok gue.”

“Hmm, baguslah.”

“Jadi, ada apaan?”

“Eh, ngga ada apa-apaan sih, gue cuma mau liat kondisi lo aja. Gue kan belum nemuin lo dari semenjak lo sadar tadi sore.”

“Emang ya? Nyantai aja sih, kaya sama siapa aja lo.”

Aku tertawa. Brad mengangguk dan tersenyum. Ada perasaan aneh yang menggelayuti ku lagi. Perasaan tidak nyaman yang membuat bulu kudukku berdiri. Entah mengapa, itu semua tertuju ke Brad.

“Jangan ngelamun dong. Kenapa sih? Ada yang lagi dipikirin?” Tanya Brad membuyarkan lamunanku.

“Nggak, Cuma lagi jenuh aja.”

“Oh..”

Aku menatapnya lekat-lekat. Tidak bersuara. Kemudian Brad menangkap arah pandanganku. Dia seperti terkejut. Matanya membesar, bibirnya terbuka sedikit, seperti hendak mengatakan sesuatu.

“Kenapa Brad?” Tanya ku datar.

“Itu, pergelangan tangan lo yang di perban berdarah tuh.” Ucapnya pelan.

Aku langsung memeriksanya, ternyata memang agak berdarah sedikit, namun itu bukanlah hal besar. Tiba-tiba Brad mendekati ku, memegang pergelangan tangan ku erat.

“Aduh, Brad, pelan-pelan dong, sakit nih.”
Ucap ku mengeluh.

Bukannya melepaskan pegangannya, dia malah semakin mengencangkan genggamannya. Aku terkejut, bukan seperti Brad yang biasa. Aku semakin merinding disentuhnya.

BRAD !!”
Teriakku.

Sontak Brad melepas tangannya dan menjauh, kemudian menatapku khawatir.

“Aduh, kenapa sih??”

“Kok tanya kenapa, ada juga gue yang tanya! Lo kenapa? Ngga tau ini sakit ya??”

“Oh, maaf Chester. Gue ngga sengaja. Yaudah lo istirahat aja deh. Jangan kemana-mana ya. Jangan keluar lagi, di hutan bahaya!”
Ucapnya setengah berteriak dan pergi meninggalkan kamarku.

What the hell was that?” Keluhku.


To Be Continued.

Categories: Share

Leave a Reply