Escape From The Universe
“You probably should run.”
Ucap pria itu dengan tenang.
“Eh? Kenapa?”
Jawabku bingung.
“Ya, because I’m about to shoot.”
“Shoot?”
Terdengar bunyi ledakan senjata yang cukup memekakkan
telinga ku. Membuat kepalaku pusing dan berputar – putar.
Ouch, apa – apaan?
ASTAGA. Apa itu??
Sekumpulan monster dengan tiga kakinya, berlari ke arah
kami, warna bulunya kuning kemerahan, memiliki empat tanduk di sisi – sisi
kepalanya, dan di moncongnya yang panjang. Taringnya, ya Tuhan.
Oh sekarang aku mengerti kenapa dia menyuruh ku lari.
“Cepat, atau kau ingin mati?”
“Iya, aku akan lari !”
Sahut ku panik sambil berlari sekuat tenaga mengikutinya.
Pria ini terlihat tenang, terlalu tenang malah.
Dia berlari sambil mengisi ulang senjatanya.
Aku tidak tahu jenis senjata apa itu, yang pasti aku tidak
pernah melihatnya sekalipun, bahkan di film aksi manapun.
“Menunduk.”
Satu perintah darinya yang langsung aku turuti, monster lain
yang ternyata ada di belakangku langsung dia hancurkan dengan sekali tembak.
Ya Tuhaaaaan ada apa ini??
Ya, aku baru sadar, kami ada di suatu tempat, gurun kurasa,
yang dimana banyak sekali pohon kering, sejauh mata memandang hanya gurun dan
gurun.
“Kita dimana??”
Tanya ku pada orang itu.
“Aku tidak yakin, mungkin planet ke - 11 atau ke - 15.”
Jawabnya santai.
Apa?
Kami bersembunyi di balik dinding tebing yang ditutupi semak
belukar.
Pria itu mengeluarkan semacam benda kotak berwarna silver
dan sedetik kemudian dia menyalakannya.
Motherfucking horse, itu Hologram?
“Disini Captain Equestris Adrien. Meminta lokasi.”
What the?
Dari hologram itu muncul sebuah robot yang merespon
pertanyaan orang tersebut.
Robot yang bentuknya sama sekali tidak seperti manusia.
Mungkin seperti alien dengan mata bulat hitamnya yang besar
dengan telinganya yang memanjang seperti Elf. Dia memakai setelan besi
berwarna silver hitam.
“Ah, disana kau rupanya Captain ! Kau sedang berbuat nakal
lagi ya? Seluruh markas mencarimu !”
“Biasalah, Arethusa.”
“Jika Carmenta tahu..”
“Jangan !! Jangan beritahu dia, kumohon Arethusa.”
“Kau punya penawaran?”
“Baiklah ! Aku akan membawamu ketempat itu.”
“Ehem. That’s so nice of you, Captain. Dari
pendeteksi satelit kami di planet ke – 21, sepertinya kau ada di planet ke –
11 dari Matahari.”
Apa??? Satelit apa itu dari planet ke – 21 dan bisa
mendeteksi lokasi kami di planet ke…
ASTAGA. PLANET KE – 11 DARI MATAHARI KATANYA?
Satelit di planet ke – 21?
Alien? Robot?
Apa ini??!!
“Tunggu !! Kau bercanda?!”
Tanya ku berteriak kepada alien itu.
“Captain, bagaimana bisa makhluk dari planet ke - 3 ini ada
denganmu? Makhluk ini mengganggu dan terlalu berisik, lihat wajahnya yang tolol
itu. Kenapa tidak kau musnahkan saja?”
“Sungguh, aku tidak tahu. Tapi dia bisa berguna untukku, kok.”
Jawab orang itu terkekeh menatapku.
“Apa – apaan?”
‘Makhluk’ katanya.
“Baiklah, terimakasih. Sebaiknya kau cepat kirimkan aku
transportasi untuk kembali.”
“Mereka akan tiba di planet itu paling sebentar… 18 jam. Is
that okay for you, Captain?”
“That’s more than enough. Thank you Arethusa.”
“Kapanpun, Captain.”
Arethusa? Carmenta? Captain Eque.. apa?
Apa sih??
Captain itu mulai mengeluarkan benda asing lainnya dari
dalam tas kantongnya. Benda yang benar – benar seukuran genggaman tangan yang
perubahan bentuknya mengejutkan aku setengah mati.
Benda itu berubah menjadi TENDA.
Dan begitu masuk ke dalam tenda itu aku mendapati satu
kantong tidur, dan satu termos air panas.
Hanya ini?
Bodohnya, tadinya aku berharap seperti tenda di film Harry
Potter yang isinya bermacam – macam.
Dapur, kasur, lemari, mungkin toilet juga.
“Captain… Equesters?”
Tanyaku pelan.
“Captain Equestris.. Adrien.”
Koreksinya.
“Captain Equestris Adrien.”
Ucapku termangu.
Namanya aneh.
“Siapa namamu anak muda?”
Tanya nya sembari membereskan barang – barang aneh dari tas
kecilnya.
“Aku Samuel.”
“Oh, kau makhluk dari planet ke – tiga.”
“Jangan sebut aku sembarangan. Aku ini manusia. Sama
sepertimu ‘kan.”
“Percaya lah, kita tidak sama.”
Senyumnya sambil merapikan kantong tidur.
“Kita tidak butuh tidur kan??”
Tanyaku.
“Untuk saat ini sih aku tidak, bagaimana denganmu?
Tidak lelah sehabis berlarian seperti tadi?”
“Kau terlalu meremehkan ku, Captain.”
“Adrien saja. Sepertinya Equestris terlalu rumit untukmu.”
Ucapnya lagi tergelak.
“Kau terlalu meremehkanku.”
Ulangku.
“Monster tadi apa? Dan bagaimana bisa kita terdampar disini?
Mengapa bisa ada planet ke – 11 setelah matahari? Kau ini siapa? Robot apa tadi
yang bicara denganmu?”
“Kurasa Arethusa benar, kau berisik.”
Aku terdiam kesal.
Kurasa wajar saja aku bertanya, seumur hidupku aku tidak
pernah tahu tentang keberadaan planet ke – 11, itu artinya ada planet ke – 10
setelah matahari. Tentu yang ke – 9 adalah Pluto.
Kenapa dia menyebut planet ke – 3, ke – 21, ke – 11?
Kenapa tidak menyebut Bumi, apa pula itu yang ke - 21 dan.. Entah apa nama
dari planet ke – 11 ini.
Tidak, ini semua apa sih??
“Kau memang sangat penasaran ya?”
Tanyanya ketika aku masih terlarut dalam rasa bingungku.
Aku mengangguk.
Dia menghela nafas.
“Dunia ini jauh lebih luas dari apa yang kita bayangkan kau
tahu, Samuel. Benar – benar luas.
Ada sekitar 800.000 Planet dalam tata surya. Namun
sepertinya penduduk bumi baru bisa menemukan sampai ke – 9 ya? Yang tidak lain
adalah Pluto.”
Wow. 800.000
katanya.
“Seperti yang Arethusa katakan tadi, kita ada di planet ke –
11 dari matahari, yang bernama Heliscaupus. Salah satu planet tandus selain
Polapus planet ke – 13, Centrionus planet ke – 15 dan Kioplatus planet ke – 121.
Dan masih banyak lagi setelah itu sih.
Bahkan ada planet yang seluruh isinya hanya diselimuti salju. Benar – benar salju.”
“Wow, benarkah? Kau
pernah kesana?”
“Ya, luasnya tidak seberapa. Tidak ada pepohonan maupun
makhluk hidup. Tapi aku menemukan sesuatu yang unik. Sejauh ini hanya planet
ini yang selalu diselimuti Aurora. Planet ini tidak pernah gelap juga terang. Indah
sekali.”
“Dan nama planetnya?”
“Aku menamainya Carmeora, planet ke – 34 dari matahari.”
Dia tersenyum lembut.
“Carmenta ya?”
Tanyaku tersenyum jahil.
Dan lagi – lagi dia tersenyum.
“Apakah Carmenta sendiri sudah pernah datang ke planet itu?”
“Aku berencana mengajaknya.. Sekaligus melamarnya disana.”
“Ya Tuhan, ternyata kau romantis ya?”
Dia berdehem.
“Carmenta tidak berpikiran sama denganmu.”
“Kau sendiri, dari mana asalmu, Adrien? Dan berapa usiamu?”
“Aku berasal dari Phylocartos, planet ke – 22 dari mahatari.
Dan usiaku 132 tahun.”
“ASTAGA. Kau tua !”
“Hey tidak sopan !! Jika diukur dengan usia penduduk bumi,
usia ku baru menginjak 28 tahun tahu !
Mungkin karena pergerakan waktu di Planet Phylocartos jauh
lebih cepat dibanding bumi. Ilmuwan – ilmuwan disana tidak pintar ya?”
“Kau benar – benar mengejek ya?”
“Tidak, apa yang aku katakan ini adalah fakta.”
“Apa yang terjadi dengan pakaianmu?”
Tanyaku menyelidik.
“Apa maksudmu?”
“Makhluk robot di hologram mu tadi.. Dia memakai setelan
keren. Mengapa pakaianmu seperti dari abad ke – 18 penduduk Bumi?”
Dia tertawa.
Dengan tatapannya yang terlihat sombong, dia mengangkat
tangan kanannya dan menunjuk jam tangannya.
“Kau lihat ini?”
“Jam tangan.. ya.”
“Tekan tombol ini.”
Aku menekan tombol yang ia pinta. Dan dalam sekejap pakaian bututnya
berubah menjadi setelan berwarna silver paling keren yang pernah aku lihat.
Pakaiannya agak ketat, ketika kusentuh ternyata keras,
seperti baju pelindung pasukan kerajaan mungkin. Dengan senjata di tiap sisi
pinggangnya.
“Keren kan?”
Tanyanya meledek.
Aku berdehem.
“Baiklah. Jadi, bagaimana aku bisa tiba – tiba ada di
planet.. Apa namanya tadi?”
“Heliscaupus. Dan aku tidak tahu apa yang terjadi padamu
anak muda.”
Jawabnya kecewa dengan responku dan sekejap kemudian
mengembalikan pakaiannya ke semula.
“Kalau begitu apa yang terjadi padamu?”
“Aku mengutak atik mesin di markas. Mereka sedang menguji
coba mesin teleportasi dimana kami bisa..”
“Berpindah dimensi dan waktu dalam sekejap mata. Aku tahu
alat semacam itu.”
“Tunggu, ilmuwan di Bumi memiliki alat sejenis??”
“Begitulah.”
Ucapku menyombongkan diri. Yang sesungguhnya ilmuwan di Bumi
masih sedang mencari tahu cara membuat alat itu.
“Jadi.. Apa kau tidak ingat hal terakhir yang kau lakukan
setelah akhirnya sadar ada disini?”
“Hmm.. Mungkin..”
Pikiranku kembali ke beberapa waktu lalu.
Adrien menodongkan senjata ke monster – monster itu setelah
sebelumnya memerintahkanku untuk lari.
Bukan ! Aku sedang apa tadi?
Trixi..
Trixi dan Jimmy mengajakku ke hutan yang sebelumnya telah
aku temukan sebuah gudang tua tertimbun tanah dan akar – akar pohon yang sudah
mati.
Mereka memaksaku ikut dan memeriksa jika kami bisa menemukan
sesuatu yang menarik di dalam gudang itu.
Pintu.
“Um.. ya. Kurasa aku tahu apa yang terjadi.”
Ucapku akhirnya setelah melamun lama.
“Ilmuwan – ilmuwan bumi menjadikanmu kelinci percobaan ya?”
Tanyanya.
“Sepertinya..”
Jawabku asal, well anggap
saja ilmuwan – ilmuwan itu adalah Trixi dan Jimmy.
Tunggu, dimana mereka? Jangan – jangan mereka juga ikut
kesini.
Who cares. Mereka sama
bodohnya dengan ku. Seharusnya kujadikan mereka makanan buaya.
“Apa yang harus kita kerjakan di planet ini selagi menunggu
teman – temanmu datang? Tunggu, kau akan mengirimku pulang ‘kan??”
“Kita berjaga – jaga jika ada monster lain yang mendekat. Dan
tentu saja tidak, kau pulang sendiri. Alat ku hanya bisa untuk dua kali
perjalanan. Datang kesini dan pulang kembali. Karena yang Arethusa kirimkan
sudah pasti alat transportasi dengan bahan bakar dan kapasitas rendah. Bukan yang
untuk perjalanan yang hampir sangat mendekati matahari seperti Bumi.”
Apa katanya?
“Adrien apa kau serius?”
